BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Minggu, 16 Januari 2011

OBAT GAGAL GINJAL

1.      DIURETIK 


Definisi
Diuretik  adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah diuresisi mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat – zat terlarut dan air. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal. Secara umum diuretik dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu :
1)   Diuretik Osmotik
2)   Penghambat mekanisme transport elektrolit di dalam tubuli ginjal.

Obat yang dapat menghambat transport elektrolit di tubuli ginjal ialah :
1)     Penghambat  karbonik anhidrase,
2)     Benzotiadiazid,
3)     Diuretik hemat kalium,
4)  Diuretik kuat
  

1.1 DIURETIK  OSMOTIK


DEFINISI
Istilah  diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak sebagai diuretik osmotik apabila memenuhi 4 syarat :
1)   Difiltrasi secara bebas oleh glomerulus.
2)   Tidak atau hanya sedikit reabsorpsi sel tubuli ginjal,
3)   Secara farmakologis merupakan zat yang inert, dan
4)  Umumnya resisten terhadap perubahan – perubahan metabolik.
Contoh golongan obat ini adalah Manitol, Urea, Gliserin, Isosorbid.
Manitol paling sering digunakan diantara obat ini, karena manitol tidak mengalami metabolisme dalam badan dan hanya sedikit sekali direabsorpsi tubuli bahkan praktis dianggap tidak direabsorpsi. Manitol harus diberikan secara IV, jadi obat ini tidak praktis digunakan udem kronik. Pada penderita payah jantung pemberian manitol berbahaya, karena volume darah yang beredar meningkat sehingga memperberat kerja jantung yang telah gagal.
Diuretik osmotik terutama bermanfaat pada pasien oliguria akut akibat syok hipovolemik
dalam keadaan ini obat yang kerjanya mempengaruhi fungsi tubuli tidak efektif.
Manitol digunakan misalnya untuk :
1)   Profilaksis gagal ginjal akut, suatu keadaan yang dapat timbul akibat operasi jantung, luka traumatik berat, atau tindakan operatif dengan penderita yang juga menderita ikterus berat,
2)   Menurunkan tekanan maupun volume cairan intraokuler atau cairan serebrospinal.

EFEK NONTERAPI
Manitol didistribusikan ke cairan ekstrasel, oleh Karena itu pemberian larutan manitol hipertonis yang berlebihan akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstrasel secara tidak diharapkan akan terjadi penambahan jumlah cairan ekstrasel. Hal itu tentu berbahaya bagi penderita payah jantung. Kadang – kadang manitol juga dapat menimbulkan reaksi hipersensitif.
Urea lebih bersifat iritatif terhadap jaringan dan dapat menimbulkan trombosis atau nyeri bila terjadi ekstravasasi.
Gliserin dimetabolisme dalam tubuh dan dapat menyebabkan hiperglikemia dan glukosuria. Pemberian diuretik osmotic sering menimbulkan sakit kepala, mual, dan muntah.

SEDIAAN DAN POSOLOGI
Manitol,
Untuk suntikan intravena digunakan  larutan 5 – 25% dengan volume antara 50 – 1.000 ml. Dosisi untuk menimbulkan dieresis ialah 50 – 200 g yang diberikan dalam cairan infuse sedemikian, sehingga diperoleh dieresis sebanyak 30 – 50 ml per jam. Untuk penderita dengan olihura hebat diberikan dosis percobaan yaitu 200 mg/kgBB yang diberikan melalui infuse selama 3 – 5 menit. Bila dengan 1 – 2 kali dosis percobaan dieresis masih kurang dari 30 ml per jam dalam 2 – 3 jam, maka status pasien harus di evaluasi kembali sebelum pengobatan dilanjutkan.
       Untuk  mencegah gagal ginjal akut pada tindakan operasi atau untuk mengatasi oliguria, dosis total manitol untuk orang dewasa ialah 50 – 100 g.
       Untuk menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi, menurunkan tekanan intraokuler pada serangan akut glaucoma kongestif atau sebelum operasi mata, digunakan manitol 1,5 – 2 g/kgBB sebagai larutan 15 – 20%, yang diberikan melalui infus selama 30 – 60 menit.
Urea
Suatu  kristal putih dengan rasa agak pahit dan mudah larut dalam air. Sediaan intravena mengandung urea sampai 30% dalam dekstrose 5% (iso – osmotik) sebab larutan urea murni dapat menimbulkan hemolisis. Pada tindakan bedah syaraf, urea diberikan intravena dengan dosis 1 – 1,5 g/kgBB. Sebagai diuretik, urea potensinya lebih lemah dibandingkan dengan manitol, karena hampir 50% senyawa urea ini akan direabsorpsi oleh tubuli ginjal.
Gliserin,
Diberikan  per oral sebelum suatu tindakan optalmologi dengan tujuan menurunkan tekanan intraokuler. Efek maksimal terlihat 1 jam sesudah 5 jam. Dosis untuk orang dewasa yaitu 1 – 1,5 g/kgBB dalam larutan 50 atau 75%. Gliserin ini cepat dimetabolisme, sehingga efek diuresisnya relative kecil.
Isosorbid,
Diberikan secara oral untuk indikasi yang sama dengan gliserin. Efeknya juga sama, hanya isosorbid menimbulkan dieresis yang lebih besar daripada gliserin, tanpa menimbulkan hiperglikemia. Dosis berkisar antara 1 – 3 g/kgBB, dan dapat diberikan 2 – 4 kali sehari.

1.2. penghambat karbonik anhidrase

Karbonik Anhidrase,
Adalah enzim yang mengkatalisis reaksi CO2 + H2O         H2CO3. Enzim ini terdapat antara lain dalam sel korteks renalis, pankreas, mukosa lambung, mata, eritrosit dan SSP, tetapi tidak terdapat dalam plasma.
       Dalam tubuh, H2CO3 berada dalam keseimbangan dengan ion H+ dan HCO3- yang sangat penting dalam system bufer darah. Ion ini juga penting pada proses reabsorpsi ion tetap dalam tubuli ginjal, sekresi asam lambung dan beberapa proses lain dalam tubuh. Sebenarnya, tanpa enzim tersebut reaksi di atas dapat berjalan, tetapi sangat lambat.
Karbonik anhidrase merupakan potein dengan berat molekul kira – kira 30.000 dan mengandung satu atom Zn dalam setiap molekul. Enzim ini dapat di hambat aktivitasnya oleh sianida, azida, dan sulfida. Derivat sulfonamide yang juga dapat menghambat kerja enzim ini adalah asetazolamid dan diklorofenamid. Yang akan dibicarakan di sini hanyalah asetazolamid, karena banyak digunakan dalam klinik.

Farmakodinamik,
Efek  farmakodinamik yang utama dari asetazolamid adalah penghambatan karbonik anhidrase secara nonkompetitif. Akibatnya terjadi perubahan sistemik dan perubahan terbatas pada organ tempat enzim tersebut berada.


Ginjal,
Untuk menimbulkan penghambatan efek fisiologis yang nyata, lebih dari 99% aktivitas enzim tersebut harus di hambat. Sekresi H+ oleh sel tubuli berkurang karena pembentukan H+ dan HCO3- yang berkurang dalam sel tubuli, sehingga pertukaran Na+ oleh H+ terhambat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya ekskresi bikarbonat, natrium, dan kalium melalui urin sehingga urin menjadi alkalis. Bertambahnya ekskresi kalium disebabkan oleh pertukaran Na+ dengan K+ menjadi lebih aktif, menggantikan pertukaran dengan H+. Meningkatnya ekskresi elektrolit menyebabkan bertambahnya ekskresi air.

Susunan Cairan Plasma,
Dengan bertambahnya ekskresi bikarbonat dan ion tetap (fixed ion)  dalam urin, terutama Na+, maka kadar ion dalam cairan ekstrasel menurun, sehingga terjadi asidosis metabolik. Karena kerjanya melalui peningkatan ekskresi bikarbonat dan kation, maka besarnya efek dieresis tergantung dari kadar ion tersebut dalam plasma. Pada alkalosis metabolik, kadar ion bikarbonat dalam plasma meninggi dan ion klorida menurun (karena adanya chloride shift), dalam keadaan ini efek dieresis asetazolamid makin kuat. Hal yang sebaliknya terjadi dalam keadaan asidosis metabolik.
       Asetazolamid memperbesar ekskresi K+, tetapi efek ini hanya nyata pada permulaan terapi saja, sehingga pengaruhnya terhadap keseimbangan kalium tidak sebesar pengaruh tiazid.

Mata,
Dalam cairan bola mata banyak sekali terdapat enzim karbonik anhidrase dan bikarbonat. Pemberian asetazolamid baik secara oral maupun parenteral, mengurangi pembentukan cairan bola mata disertai penurunan tekanan intraokuler sehingga asetazolamid berguna dalam pengobatan glaukoma. Efek ini mungkin disebabkan oleh penghambatan terhadap karbonik anhidrase.

Susunan  Saraf  Pusat,
Telah lama diketahui bahwa keadaan asidosis dapat mengurangi timbulnya serangan epilepsi, dalam klinik keadaan ini di capai dengan memberikan diet ketogenik pada penderita. Karena asetazolamid dapat menimbulkan asidosis dan SSP banyak mengandung karbonik anhidrase, maka diduga bahwa obat ini dapat dipakai mengobati penyakit epilepsi. Dugaan ini ternyata benar, tetapi rupanya efek pengurangan serangan epilepsy tersebut bukan hanya disebabkan penghambatan karbonik anhidrase tetapi  juga oleh adanya efek langsung pada SSP. Gejala susunan saraf pusat yang sering timbul pada penggunaan asetazolamid adalah somnolen dan parestesia.
Pernapasan,
Asetazolamid kurang mempengaruhi aktivitas karbonik anhidrase di eritrosit sehingga pengaruh langsung terhadap pernapasan tidak ada.

Farmakokinetik,
Asetazolamid mudah diserap melalui saluran cerna, kadar maksimal dalam darah dicapai dalam 2 jam dan ekskresi melalui ginjal sudah sempurna dalam 24 jam. Obat ini mengalami proses sekresi aktif oleh tubuli dan sebagian direabsorpsi secara pasif. Asetazolamid terikat kuat pada karbonik anhidrase, sehingga terakumulasi dalam sel yang banyak mengandung enzim ini, terutama sel eritrosit dan korteks ginjal. Obat penghambat karbonik anhidrase tidak dapat masuk ke dalam eritrosit, jadi efeknya hanya terbatas pada ginjal saja. Distribusi penghambat karbonik anhidrase dalam tubuh ditentukan oleh ada tidaknya enzim karbonik anhidrase dalam sel yang bersangkutan dan dapat tidaknya obat itu masuk ke dalam sel. Asetazolamid tidak di metabolisme dan diekskresi dalam bentuk utuh melalui urin.

EFEK  NONTERAPI  DAN  KONTRAINDIKASI
Intoksikasi asetazolamid jarang terjadi. Pada dosis tinggi dapat timbul parestesia dan kantuk yang terus – menerus. Asetazolamid mempermudah pembentukan batu ginjal karena berkurangnya ekskresi sitrat, kadar kalsium dalam urin tidak berubah atau meningkat.
       Reaksi alergi yang jarang terjadi berupa demam, reaksi kulit, depresi sumsum tulang dan lesi renal mirip reaksi terhadap sulfonamid.
       Seperti tiazid, obat ini dapat menyebabkan disorientasi mental pada penderita sirosis hepatis. Hal ini mungkin disebabkan oleh amoniak yang biasanya disekresi ke dalam urin masuk ke darah karena tidak adanya H+ yang terbentuk dalam sel tubuli. Biasanya H+ tersebut bergabung dengan NH3 membentuk NH4+ yang berguna untuk kanion tetap dalam cairan tubuli. Hati tidak mampu mengubah amoniak yang terlalu banyak menjadi urea dan amoniak inilah yang menyebabkan disorientasi mental. Karena itu asetazolamid dikontraindikasikan pada sirosis hepatis.
       Asetazolamid sebaiknya tidak diberikan selama kehamilan, karena pada hewan coba obat ini dapat menimbulkan efek teratogenik.

INDIKASI
Penggunaan asetazolamid yang utama ialah untuk menurunkan tekanan intraokuler pada penyakit glaukoma. Asetazolamid berguna mengatasi paralisis periodik bahkan yang disertai hipokalemia. Diduga asidosis yang timbul setelah pemberian asetazolamid, akan meningkatkan kadar K+ ekstrasel setempat pada mikrosirkulasi otot. Asetazolamid juga efektif untuk mengurangi gejala acute mountain sickness.
Asetazolamid jarang digunakan sebagai diuretic, tetapi dapat bermanfaat untuk alkalinisasi urin sehingga mempermudah ekskresi zat organic yang bersifat asam lemah. Walaupun asam salisilat merupakan zat organik yang bersifat asam lemah, asetazolamid tidak dianjurkan untuk mengatasi intoksikasi asam salisilat, sebab kedua obat ini menyebabkan asidosis. Sedangkan obat gangliotik yang bersifat basa lemah organik akan dihambat ekskresinya, sehingga akan teradi potensiasi bila diberikan bersama dengan asetazolamid pada penderita hipertensi.

SEDIAAN DAN POSOLOGI
Asetazolamid tersedia dalam bentuk tablet 125 mg dan 250 mg untuk pemberian oral. Dosis antara 250 – 500 mg per kali, dosis untuk chronic simple glaucoma yaitu 250 – 1.000 mg per hari. Natrium asetazolamid untuk pemberian parenteral hendaknya diberikan satu kali sehari, kecuali bila dimaksudkan untuk menimbulkan asidosis metabolik maka obat ini diberikan setiap 8 jam. Tetapi sediaan ini tidak terdapat di Indonesia, demikian juga sediaan yang berbentuk sirup.

       Dosis dewasa untuk acute mountain sickness yaitu 2 kali sehari 250 mg, dimulai 3 – 4 hari sebelum mencapai ketinggian 3.000 m atau lebih, dan dilanjutkan untuk beberapa waktu sesudah dicapai ketinggian tersebut.
       Dosis untuk paralisis periodic yang bersifat familier (Familial periodic paralysis) yaitu 250 – 750 mg sehari dibagi dalam 2 atau 3 dosis, sedangkan untuk anak – anak 2 atau 3 kali sehari 125 mg.
       Diklorofenamid dalam tablet 50 mg, efek optimal dapat dicapai dengan dosis awal 200 mg sehari, serta metazolamid dalam tablet 25 mg dan 50 mg dan dosis 100 – 300 mg sehari, tidak terdapat dipasaran.

1.3.   Benzotiadiazid

SEJARAH
Sintesis  golongan ini merupakan hasil dari penelitian zat penghambat enzim karbonik anhidrase. Komposisi yang terbentuk setelah pemberian obat ini ternyata mengandung banyak ion klorida, efek sangat berbeda dengan senyawa induknya yaitu benzene disulfonamid. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa benzotiadiazid ialah klorotiazid, yang merupakan obat tandingan pertama golongan Hg – organik, yang telah mendominasi diuretik selama lebih dari 30 tahun. Farmakologi diuretik golongan Hg organik ini dapat dilihat pada edisi 2.

KIMIA DAN HUBUNGAN ANTARA STRUKTUR DAN AKTIVITAS
Sebagian besar senyawa benzotiadzid merupakan analog dari 1,2,4-benzo-tiadiazin-1,1-dioksisa. Perubahan pada R2, R3, dan R6 akan membentuk berbagai senyawa tiazid. Hubungan antara struktur dan aktivitasnya ternyata amat kompleks dan dipengaruhi berbagai faktor  fisiologik maupun farmakokinetik. Beberapa senyawa ternyata dapat menimbulkan hiperglikemia dan efek ini ditentukan oleh struktur yang berbeda dari struktur yang berbeda dari struktur yang menentukan daya diuresisnya.
Senyawa tiazid menunjukkan kurva dosis efek yang sejajar dan daya kloruretik maksimal yang sebanding. Senyawa – senyawa tersebut ialah klortalidon, kuinetazon, dan indapamid.

FARMAKODINAMIK
            Efek  farmakodinamik tiazid yang utama ialah meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan sejumlah air. Efek  natriuresis dan kloruresis ini disebabkan oleh penghambatan mekanisme reabsorpsi elektrolit pada hulu tubuli distal (early distal tubule). Berbeda dengan diuretik penghambat karbonik anhidrase, perubahan keseimbangan asam – basa dalam tubuh tidak mempengaruhi efek diuretik tiazid.
       Derivat tiazid memperlihatkan efek penghambatan karbonik anhidrase dengan potensi yang berbeda – beda. Zat yang aktif sebagai penghambat karbonik anhidrase, dalam dosis yang mencukupi, memperlihatkan efek sama seperti asetazolamid dalam ekskresi bikarbonat (lihat efek asetazolamid). Agaknya efek penghambatan karbonik anhidrase ini tidak berarti secara klinis. Efek penghambatan karbonik anhidrase di luar ginjal praktis tidak terlihat karena tiazid tidak ditimbun di sel lain.
Aktif diuretiknya, tetapi juga karena efek langsung terhadap arteriol sehingga terjadi vasodilatasi.
       Pada  penderita diabetes insipidus, tiazid justru mengurangi diuresis. Mekanisme antidiuretiknya belum diketahui dengan jelas dan efek ini kita jumpai baik pada diabetes insipidus nefrogen, maupun yang disebabkan oleh kerusakan hipofisis posterior.

FUNGSI GINJAL
            Tiazid dapat mengurangi kecepatan filtrasi glomerulus, terutama bila diberikan secara intravena. Efek ini mungkin disebabkan oleh pengurangan aliran darah ginjal. Namun berkurangnya filtrasi ini sedikit sekali pengaruhnya terhadap efek diuretik tiazid, dan hanya mempunyai arti klinis bila fungsi ginjal memang sudah kurang. Seperti kebanyakan asam organik lain, tiazid disekresi secara aktif oleh tubuli ginjal bagian proksimal. Sekresi ini dapat berkurang dengan adanya antagonis kompetitif  misalnya probenesid. Dalam keadaan tertentu, probenesid dapat menghambat efek diuresis tiazid, hal ini menandakan bahwa untuk menimbulkan efek diuresis tiazid harus ada di dalam cairan tubuli.
Tempat kerja utama tiazid adalah dibagian hulu tubuli (early distal tubules) distal. Seperti diketahui mekanisme reabsorpsi Na+ di tubuli distal masih belum jelas benar, maka demikian pula cara kerja tiazid. Laju ekskresi Na+  maksimal yang ditimbulkan oleh tiazid relatif lebih rendah dibandingkan dengan apa yang dicapai oleh beberapa diuretik lain, hal ini di sebabkan 90% Na+ dalam cairan filtrate telah direabsorpsi lebih dahulu sebelum ia mencapai tempat kerja tiazid.
Efek  kaliuresis disebabkan oleh bertambahnya natriuresis sehingga pertukaran antara Na+ dan K+ yang menjadi lebih aktif  pada  tubuli distal. Harus diingat bahwa pada penderita dengan udem pertukaran Na+ dengan K+ menjadi lebih aktif karena sekresi aldosteron bertambah.
Pada manusia tiazid menghambat ekskresi asam urat sehingga kadarnya dalam darah meningkat, Ada 2 mekanisme yang terlibat dalam hal ini :
1)   Tiazid meninggikan reabsorpsi asam urat di tubuli proksimal.
2)   Tiazid mungkin sekali menghambat ekskresi asam urat oleh tubuli.
Ekskresi yodida dan bromida secara kualitatif  sama dengan ekskresi klorida. Diuretik yang menyebabkan kloruresis juga akan meningkatkan ekskresi kedua ion halogen yang lain. Dengan demikian semua obat yang bersifat kloruresis dapat digunakan untuk menanggulangi keracunan bromide. Berbeda dengan natriuretik lain, tiazid menurunkan ekskresi kalsium sampai 40%, karena tiazid tidak dapat menghambat reabsorpsi kalsium oleh sel tubuli distal. Ekskresi Mg++ meningkat, sehingga dapat menyebabkan hipomagnesemia.

CAIRAN EKSTRASEL,
            Tiazid dapat meninggikan ekskresi ion K+ terutama pada pemberian jangka pendek, dan mungkin efek ini menjadi kecil bila penggunaannya berlangsung dalam jangka panjang. Ekskresi natrium yang berlebihan tanpa disertai jumlah air yang sebanding, dapat menyebabkan hiponatremia dan hipokloremia, terutama bila penderita tersebut mendapat diet diet rendah garam, namun demikian secara keseluruhan golongan tiazid cenderung menimbulkan gangguan komposisi cairan ekstrasei yang lebih ringan dibandingkan dengan diuretik kuat, karena intensitas diuresis yang ditimbulkannya relative lebih rendah.

FARMAKOKINETIK
            Absorpsi tiazid melalui saluran cerna baik sekali. Umumnya efek obat tampak setelah satu jam. Klorotiazid didistribusi keseluruh ruang ekstrasel dan dapat melewati sawar uri, teapi obat ini hanya ditimbun dalam jaringan ginjal saja. Dengan suatu proses aktif, tiazid diekskresi oleh sel tubuli proksimal ke dalam cairan tubuli. Jadi bersihan ginjal obat ini besar sekali, biasanya dalam 3 – 6 jam sudah diekskresi dari badan. Bendroflumetiazid, politiazid, dan klortalidon mempunyai masa kerja yang lebih panjang karena ekskresinya lebih lambat.
       Klorotiazid dalam badan tidak mengalami perubahan metabolik, sedang politiazid sebagian dimetabolisme dalam badan.

EFEK  SAMPING
            Intoksikasi dalam klinik jarang terjadi, biasanya reaksi yang timbul disebabkan oleh reaksi alergi atau karena penyakitnya sendiri. Telah dibuktikan pada hewan coba bahwa besarnya dosis toksik beberapa kali dosis terapi. Reaksi yang telah dilaporkan adalah berupa kelainan kulit, purpura, dermatitis disertai fotosensitivitas dan kelainan darah.     
Pada penggunaan lama dapat timbul hiperglikemia, terutama pada penderita diabetes yang laten. Ada 3 faktor yang menyebabkan hal ini dan telah dapat dibuktikan pada tikus yaitu berkurangnya sekresi insulin terhadap peninggian kadar glukosa plasma, meningkatnya glikogenolisis, dan berkurangnya glikogenolisis.
       Tiazid dapat menyebabkan peningkatan kadar kolestrol dan trigliserid plasma dengan mekanisme yang tidak diketahui, tetapi tidak jelas apakah ini meninggikan resiko terjadinya aterosklerosis.
       Kadar natrium, kalium, klorida dan bikarbinat plasma sebaiknya diperiksa secara berkala pada penggunaan tiazid jangka lama walapun perubahannya tidak menonjol. Kehilangan kalium lebih lanjut misalnya pada keadaan diare, muntah – muntah atau anoreksia harus segera diatasi karena dapat memperbesar bahaya intoksikasi digitalis, memungkinkan terjadinya koma hepatikum pada penderita sirosis hepatis dan parese atau paralisis otot skelet. Kombinasi tetap tiazid dengan KCl tidak digunakan lagi karena menimbulkan iritasi local di usus halus. Suplemen KCl sebagai sediaan terpisah atau pemberian tiazid bersama diuretik hemat kalium dapat mencegah hipokalemia.
       Gejala insufisiensi ginjal dapat diperberat oleh tiazid, mungkin karena tiazid langsung mengurangi aliran darah ginjal. Gangguan pembentukan H+ menyebabkan amoniak tidak dapat diubah menjadi ion ammonium dan memasuki darah, ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya depresi mental dan koma pada penderita sirosis hepatis. Suatu reaksi idiosinkrasi yang jarang sekali timbul seperti hepatitis kolestatik, telah dilaporkan.

INDIKASI
            Tiazid merupakan diuretik terpilih untuk pengobatan udem akibat payah jantung ringan sampai sedang. Ada baiknya bila dikombinasi dengan diuretik hemat kalium pada penderita yang juga mendapat pengobatan digitalis untuk mencegah timbulnya hipokalemia yang memudahkan terjadinya intoksikasi digitalis. Hasil yang baik juga didapat pada pengobatan tiazid untuk udem akibat penyakit hati dan ginjal kronis.
       Tiazid merupakan salah satu obat penting pada pengobatan hipertensi, baik sebagai obat tunggal atau dalam kombinasi dengan obat hipertensi lain.
       Pemberian tiazid pada penderita gagal jantung atau hipertensi yang disertai gangguan fungsi ginjal harus dilakukan dengan hati – hati sekali, karena obat ini dapat memperhebat gangguan tersebut akibat penurunan kecepatan filitrasi glomerulus dan hilangnya natrium, klorida dan kalium yang terlalu banyak. Pengobatan lama udem kronik dengan obat ini, hendaknya diberikan dalam dosis yang cukup untuk mempertahankan berat badan tanpa udem. Penderita  jangan terlalu dibatasi makan garam.
       Golongan tiazid juga digunakan untuk pengobatan diabetes insipidus terutama yang bersifat nefrogen dan hiperkalsiuria pada penderita dengan batu kalsium pada saluran kemih.

POSOLOGI
Sediaan dan dosis golongan tiazid dapat dilihat pada tabel 25-2.
Tabel 25-2, SEDIAAN DAN DOSIS TIAZID DAN SENYAWA SEJENIS

          OBAT
        SEDIAAN
       DOSIS
      (mg/hari)
  Lama kerja
       (jam)
 Klorotiazid
Tablet 250 dan 500 mg
   500 – 2000
     6 – 12
Hidroklorotiazid
Tablet 25 dan 50 mg
   25 – 100
     6 – 12
Hidroflumetiazid
Tablet 50 mg
   25 – 200
     6 – 12
Bendroflumetiazid
Tablet 2.5; 5 dan 10 mg
     5 – 20
     6 – 12
Politiazid
Tablet 1,2 dan 4 mg
     1  –  4
   24 – 48
Benztiazid
Tablet 50 mg
    50 – 200
     6 – 12
Siklotiazid
Tablet 2 mg
      1  –   2
   18 – 24
Metiklotiazid
Tablet 2,5 dan 5 mg
    2,5 – 10
      24
Klortalidon
Tablet 2,5, 50 dan 100 mg
    25 – 100
   24 – 74
Kuinetazon
Tablet 50 mg
    50 – 200
   18 – 24
Indapamid
Tablet 2,5 mg
    2,5  -   5 
   24 – 36



1.4  DIURETIK  HEMAT  KALIUM
            Yang  tergolong dalam kelompok ini ialah antagonis aldosteron, triamteren, dan amilorid. Efek diuretiknya tidak sekuat golongan diuretik kuat.

ANTAGONIS ALDOSTERON
            Aldosteron adalah mineralokortikoid endogen yang paling kuat.Peranan utama aldosteron ialah memperbesar ekskresi kalium, jadi pada hiperaldosteronisme, akan terjadi penurunan kadar kalium dan alkalosis metabolik karena reabsorpsi HCO3- dan sekresi H+ yang bertambah.
       Keadaan dan tindakan yang dapat menyebabkan bertambahnya sekresi aldosteron oleh korteks adrenal adalah sekresi glukokortikoid yang meninggi misalnya pembedahan, rasa takut, trauma fisik dan perdarahan, asupan kalium yang tinggi, asupan natrium yang rendah, bendungan pada vena kava inferior, sirosis hepatis, nefrosis, dan payah jantung akan meningkatkan sekresi aldosteron tanpa peningkatan sekresi glukokortikoid.
       Mekanisme kerja antagonis aldosteron adalah penghambatan kompetitif terhadap aldosteron. Ini terbukti dari kenyataan bahwa obat ini hanya efektif bila terdapat aldosteron baik endogen ataupun eksogen dalam tubuh dan efeknya dapat dihilangkan dengan meninggikan kadar aldosteron. Jadi dengan pemberiaan antagonis aldosteron, reabsorpsi Na+ di lihir tubuli distal dan duktus koligentes dikurangi, dengan demikian ekskresi K+ juga berkurang.

FARMAKOKINETIK,
            Tujuh puluh persen spironolakton oral diserap di saluran cerna, mengalami sirkulasi enterohepatik dan metabolisme lintas pertama. Ikatan dengan protein cukup tinggi. Metabolit utamanya, kanrenon, memperlihatkan aktivitas antagonis aldosteron dan turut berperan dalam aktivitas biologic spironolakton. Kanrenon mengalami interkonversi enzimatik menjadi kankrenoat yang tidak aktif.

EFEK  SAMPING
            Efek toksik yang utama dari spironolakton adalah hiperkalemia yang sering terjadi bila obat ini diberikan bersama – sama dengan asupan kalium yang berlebihan. Tetapi efek toksik ini dapat pula terjadi bila dosis yang biasa diberikan bersama dengan tiazid pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal yang berat.
       Efek samping lain yang ringan dan reversible diantaranya ginekomastia, efek samping mirip androgen dan gejala saluran cerna.

INDIKASI
            Antagonis aldosteron digunakan secara luas untuk pengobatan hipertensi dan udem yang refrakter. Biasanya obat ini dipakai bersama diuretik lain dengan maksud mengurangi ekskresi kalium, di samping memperbesar diuresis.
       Hasilnya pada pengobatan payah jantung, sirosis hepatis dan sindrom nefrotik sukar diperkirakan karena interaksi yang terlalu kompleks dari penyakit primernya, hiperaldosteronisme sekunder dan efek diuretik lain yang diberikan bersamaan.

SEDIAAN DAN DOSIS
            Spironoklakton terdapat dalam bentuk tablet 25, 50 dan 100 mg, tetapi dosis efektif  sehari rata – rata 100 mg dalam dosis tunggal atau terbagi. Terdapat pula sediaan kombinasi tetap antara spironolakton 25 mg dan hidroklorotiazid 25 mg, serta antara spironolakton 25 mg dan tiabutazid 2,5 mg.

TRIAMTEREN  DAN  AMILORID
            Kedua obat ini terutama memperbesar ekskresi natrium dan klorida, sedangkan ekskresi kalium berkurang dan ekskresi bikarbonat tidak mengalami perubahan. Efek penghambatan reabsorpsi natrium dan klorida oleh triamteren agaknya suatu efek langsung, tidak melalui penghambatan aldosteron, karena obat ini memperlihatkan efek yang sama baik pada keadaan normal, maupun setelah adrenalektomi. Triamteren menurunkan K+ dengan menghambat sekresi kalium di sel tubuli distal. Berkurangnya reabsorpsi natrium ditempat tersebut mengakibatkan turunnya perbedaan potensial listrik transtubular,sedangkan adanya perbedaan potensial listrik transtubular ini diperlukan untuk berlangsungnya proses sekresi K+ oleh sel tubuli distal. Secara eksperimental, obat ini efektif dalam keadaan asidosis maupun alkalosis.
       Absorpsi triamteren melalui saluran cerna baik sekali, obat ini hanya diberikan oral. Efek diuresisnya biasanya mulai tampak setelah 1 jam. Amilorid dan triamteren per oral diserap kira – kira 50% dan efek terlihat dalam 6 jam dan berakhir sesudah 24 jam.


EFEK SAMPING
            Efek toksik yang paling berbahaya dari kedua obat ini yaitu hiperkalemia. Triamteren juga dapat menimbulkan efek samping yang berupa mual, muntah, kejang kaki dan pusing.
       Azotemia yang ringan sampai sedang sering terjadi dan bersifat reversibel. Pada penderita dengan sirosis hati akibat alkohol yang mendapat triamteren pernah dilaporkan terjadi anemia megaloblastik, tetapi hubungan sebab – akibat belum pasti. Hal ini mungkin akibat terjadinya penghambatan terhadap enzim dihidrofolat reduktase, terutama pada penderitaan dengan penurunan cadangan dan masukan asam folat.
       Efek samping amilorid yang paling sering selain hiperkalemia yaitu mual, muntah, diare dan sakit kepala.

INDIKASI
            Diuretik hemat kalium ternyata bermanfaat untuk pengobatan beberapa pasien dengan udem. Tetapi obat golongan ini akan lebih bermanfaat bila diberikan bersama dengan diuretik golongan lain, misalnya dari golongan tiazid. Memngingat kemungkinan dapat terjadinya efek samping hiperkalemia yang membahayakan, maka pasien – pasien yang sedang mendapat pengobatan dengan diuretik hemat K+ sekali – kali jangan diberikan suplemen K+

SEDIAAN  DAN  POSOLOGI
Triamteren tersedia sebagai kapsul dari 100 mg. Dosisnya 100 – 300 mg sehari. Untuk tiap penderita harus ditetapkan dosis penunjang tersendiri.
Amilorid terdapat dalam bentuk tablet 5 mg. Dosis sehari sebesar 5 – 10 mg.
Sediaan kombinasi tetap antara amilorid 5 mg dan hidroklorotiazid 50 mg terdapat dalam bentuk tablet dengan dosis sehari antara 1 – 2 tablet.


1.5.   Diuretik kuat
Diuretik  kuat (High-ceiling diuretics) mencakup sekelompok diuretik yang efeknya sangat kuat dibandingkan dengan diuretik lain. Tempat kerja utamanya di bagian epitel tebal ansa henle bagian asenden, karena itu kelompok ini disebut juga sebagai loop diuretics. Termasuk dalam kelompok ini adalah asam etakrinat, furosemid, dan bumetanid.
Asam  etakrinat termasuk diuretik yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral dengan hasil yang memuaskan. Furosemid, atau asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfamoil antranilat masih tergolong derivat sulfonamid. Bumetanid merupakan derivat asam 3-aminobenzoat yang lebih poten daripada furosemid, tetapi dalam hal ini kedua senyawa ini mirip satu dengan yang lain.

CARA KERJA
            Secara umum dapat dikatakan bahwa diuretik kuat mempunyai mula kerja dan lama kerja yang lebih pendek dari tiazid. Hal ini sebagian besar ditentukan oleh faktor farmakokinetik dan adanya mekanisme kompensasi.
Diuretik kuat terutama bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit di ansa Henle asendens bagian epitel tebal, tempat kerjanya di permukaan sel epitel bagian luminal (yang menghadap ke lumen tubuli). Pada pemberiaan secara IV obat ini cenderung meningkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai peningkatan filtrasi glomerulus. Perubahan hemodinamik ginjal ini mengakibatkan menurunnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli proksimal serta meningkatnya efek awal diuresis. Peningkatan aliran darah ginjal ini relatif hanya berlangsung sebentar. Dengan berkurangnya cairan ekstrasel akibat diuresis, maka aliran darah ginjal menurun dan hal ini akan mengakibatkan meningkatnya reabsorbsi cairan dan elektrolit di tubuli proksimal.
Ketiga obat ini juga menyebabkan meningkatnya ekskresi K+ dan kadar asam dengan tiazid. Ekskresi Ca++ dan Mg++ juga ditingkatkan sebanding dengan peninggian ekskresi Na+. berbeda dengan tiazid, golongan ini tidak meningkatkan reabsorpsi Ca++ di tubuli distal. Berdasarkan atas efek kalsiuria ini, golongan diuretik kuat digunakan untuk pengobatan simptomatik hiperkalsemia.
Diuretik kuat meningkatkan ekskresi asam yang dapat dititrasi (titratable acid) dan ammonia. Fenomena yang diduga terjadi karena efeknya di nefron distal ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya alkalosis metabolik.

FARMAKOKINETIK
Ketiga obat mudah diserap melalui saluran cerna, dengan derajat yang agak berbeda – beda. Bioavailabilitas furosemid 65% sedangkan bumetanid hampir 100%. Diuretik kuat terikat pada protein plasma secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi di glomerulus tetapi cepat sekali di sekresi melalui system transport asam organik di tubuli proksimal. Dengan cara ini obat terakumulasi di cairan tubuli dan mungkin sekali di tempat kerja di daerah yang lebih distal lagi. Probenesid dapat menghambat sekresi furosemid, dan interaksi antara keduanya ini hanya terbatas pada tingkat sekresi tubuli, dan tidak padatempat kerja diuretik.

EFEK  SAMPING
Efek samping asam etakrinat dan furosemid dapat dibedakan atas :
1)   Reaksi toksik berupa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolityang sering terjadi, dan
2)   Efek  samping yang tidak berhubungan dengan kerjanya utamanya jarang terjadi.
Furosemid dan tiazid diduga dapat menyebabkan nefritis interstisialis alergik yang menyebabkan gagal ginjal reversibel.
       Diuretik kuat dapat berinteraksi dengan warfarin dan klofibrat melalui pengeseran ikatannya dengan protein. Pada penggunaan kronis, diuretik kuat ini dapat menurunkan bersihan litium. Penggunaan bersama dengan sefalosporin dapat meningkatkan nefrotoksisitas sefalosporin. Antiinflamasi nonsteroid terutama indometasin dan kortikosteroid melawan kerja furosemid.

SEDIAAN  DAN  POSOLOGI
*   Asam etakrinat
Tablet 25 dan 50 mg digunakan dengan dosis 50 – 200 mg per hari. Sediaan IV berupa Na-etakrinat, dosisnya 50 mg, atau 0,5-1 mg/kgBB.
*   Furosemid
Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 20, 40, 80 mg dan preparat suntikan. Umumnya pasien membutuhkan kurang dari 600 mg/hari. Dosis anak 2 mg/kgBB, bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 6 mg/kgBB.
*   Bumetanid
Tablet 0,5 dan 1 mg digunakan dengan dosis dewasa 0,5-2 mg sehari. Dosis maksimal per hari 10 mg. obat ini tersedia juga dalam bentuk bubuk injeksi dengan dosis IV atau IM dosis awal antara 0,5-1 mg, dosis diulang 2-3 jam maksimum 10 mg/hari.


1.6.           XANTIN
Xantin ternyata juga mempunyai efek diuresis. Efek stimulasinya pada fungsi jantung, menimbulkan dugaan bahwa diuresis sebagian disebabkan oleh meningkatnya aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus.
Di antara kelompok xantin, teofilin memperlihatkan efek diuresis yang paling kuat. Xantin sangat jarang digunakan sebagai diuretik utama, namun bila digunakan untuk tujuan lain terutama sebagai bronkodilator, adanya efek diuresis harus tetap diingat.


1.7.                PENGOBATAN  DENGAN  DIURETIK

INDIKASI
            Diuretik digunakan untuk menurunkan volume darah dan cairan interstisial dengan cara meningkatkan ekskresi natrium klorida dan air. Bila diuretik diberikan secara akut, akan terjadi kehilangan natrium lebih banyak daripada jumlah natrium yang masuk dan makanan. Tetapi natrium yang masuk.

KEADAAN YANG MEMERLUKAN DIUERESIS CEPAT
*   UDEM
Semua diuretik dapat digunakan untuk keadaan udem. Sering kali udem ini disertai hiperaldosteronisme dank arena itu penggunaan diuretik cenderung disertai kehilangan kalium. Penyebab utama udem ialah payah jantung, penyebab lainnya antara lain penyakit hati dan sindrom nefrotik.
Pada udem yang disertai gagal ginjal, penggunaan tiazid kurang bermanfaat. Diuretik hemat kalium sama sekali tidak boleh diberikan pada gagal ginjal, karena ada bahaya terjadi hiperkalemia yang fatal.
*   HIPERTENSI
Dasar penggunaan diuretik pada hipertensi terutama karena efeknya terhadap keseimbangan natrium dan terhadap resistensi perifer.
Furosemid dan asam etakrinat mempunyai natriuresis lebih kuat dibandingkan dengan tiazid, tetapi keduanya tidak mempunyai efek vasodilatasi arteriol langsung seperti tiazid.
*   DIABETES INSIPIDUS
Diuretik tiazid dapat mengurangi ekskresi air pada penderita diabetes insipidus mungkin sekali melalui mekanisme kompensasi intrarenal.
*   BATU  GINJAL
Tiazid menurunkan ekskresi kalsium dalam urin. Hal ini mungkin sebagai akibat adanya kompensasi intrarenal yang menyebabkan reabsorpsi kalsium di tubuli proksimal bertambah.
*   HIPERKALSEMIA
Furosemid dosis tinggi yang diberikan secara IV (100 mg) dalam infus larutan garam faal dapat menghambat reabsorpsi natrium klorida, air, dan kalsium di tubuli proksimal sehingga digunakan untuk pengobatan hiperkalsemia.

EFEK  SAMPING
*    Hiperurisemia
Hampir  semua diuretic menyebabkan peningkatan kadar asam urat dalam serum melalui pengaruh langsung terhadap sekresi asam urat, dan efek ini berbanding lurus dengan dosis diuretik yang digunakan. Pada penggunaan diuretik dapat terjadi penyakit pirai, baik pada orang normal maupun mereka yang rentan terhadap gout. Hiperurisemia ini dapat diperbaiki dengan pemberiaan alopurinol atau probenesid.
*    Gangguan toleransi glukosa dan diabetes.
Tiazid dan furosemid dapat menyebabkan gangguan toleransi glukosa terutama pada penderita diabetes laten, sehingga terjadi manifestasi diabetes. Mekanisme pasti penyebab keadaan ini belum jelas karena menyangkut berbagai macam faktor, antara lain berkurangnya sekresi insulin dari pankreas, meningkatnya glikogenolisis dan berkurangnya glikogenolisis. Bila keadaan ini terjadi maka penggunaan diuretik ini terjadi maka penggunaan diuretik harus dihentikan.
*   Hiperkalsemia
Tiazid dapat mengakibatkan peninggian kadar kalsium serum.
*   Hiperkalemia
Diuretik hemat kalium dapat mengakibatkan hiperkalemia yang dapat merupakan komplikasi yang faal. Oleh karena itu obat golongan ini tidak boleh diberikan dengan dosis berlebihan dan juga tidak boleh diberikan pada penderita gagal ginjal.
*   Sindrom udem idiopatik
Penggunaan diuretik kuat pada keadaan ini kadang-kadang justru menyebabkan retensi garam dan air. Dengan menghentikan pemberiaan diuretik, biasanya dalam waktu 5-10 hari akan timbul diuresis.
*   Volume depletion
Pemberiaan diuretik kuat pada penderita gagal jantung berat mengakibatkan berkurangnya volume darah yang beredar secara akut. Dan hal ini ditandai dengan turunnya tekanan darah, rasa lelah dan lemah. Biasanya diuresis justru akan terjadi setelah pemberiaan diuretik dihentikan.
*   Hiponatremia
Hiponatremia ringan yang sering kali terjadi tidak menimbulkan masalah. Hiponatremia mudah terjadi pada penggunaan furosemid dosis besar bersama diuretik lain yang bekerja di tubuli distal, keadaan ini akan lebih berat bila penderita juga dianjurkan pantang garam tetapi bebas minum air.

  
2.       OBAT  - OBAT  YANG MEMPENGARUHI KONSERVASI AIR
1.1. ADH

KIMIA
ADH (hormon anti diuretik) disebut juga vasopressin merupakan suatu oktapeptid yang di produksi oleh sel saraf dalam nukleus  sel saraf dalam nucleus supraoptikus dan paraventrikularis di hipotalamus. Melalui serabut saraf, ADH ditransport ke sel – sel pituisit hipofisis posterior. Di hipofisis posterior, vasopressin ini terikat pada suatu protein spesifik yang disebut nerofisin, ikatan ini dapat dilepaskan dengan perangsangan listrik atau pemberiaan asetilkolin
. 
Efek  ADH  pada Ginjal
Setelah  dilepas (release) oleh kelenjar hipofisis posterior ADH akan disirkulasi dalam pembuluh darah dan pada individu ADH mempunyai waktu paruh sekitar 17-35 menit. Ada beberapa faktor yang terlibat dalam eliminasi hormon dan darah yang paling penting yaitu pemutusan rantai peptida oleh enzim peptidase.

OBAT – OBAT YANG DAPAT MEMODIFIKASI EFEK ADH
            Klorpromazin, parasetamol, dan indometasin meningkatkan kerja ADH, artinya obat-obat ini men”sensitisasi” ginjal terhadap ADH yang sebenarnya terlalu rendah untuk merangsang reabsorpsi air. Hal itu sebagian mungkin dapat diterangkan melalui adanya penghambatan biosintesis PG di ginjal.
EFEK  ADH  DI LUAR  GINJAL
*   Sistem Kardiovaskuler
Efek  presor ADH hanya akan terjadi pada dosis jauh lebih tinggi daripada dosis yang diperlukan untuk menimbulkan antidiuresis maksimal. Vasokonstriksi terjadi hampir pada semua pembuluh darah. Sirkulasi di kulit, saluran cerna akan sangat berkurang, juga sirkulasi koroner. Tekanan arteri di paru akan meningkat. ADH  juga berperan penting dalam mempertahankan tonus  vaskular. Efek vasokonstriksi ini rupanya melalui reseptor V1, sebaliknya ADH juga berefek vasodilatasi melalui reseptor V2 di dalam pembuluh darah.

Efek ADH terhadap jantung merupakan efek tidak langsung, yaitu akibat adanya vasokonstriksi pembuluh darah kroner, penurunan aliran darah koroner dan adanya perubahan tonus vagal dan tonus simpatis secara refleks.

Terhadap otot polos saluran cerna, efek ADH baru terjadi pada dosis yang besar. Dalam dosis besar, ADH dapat merangsang kontaksi uterus pada semua fase siklus menstruasi ataupun semua fase kehamilan.
*   Farmakokinetik
Pemberian ADH, lipresin, atau kongenernya secara oral tidak efektif  karena segera akan mengalami inaktivasi oleh tripsin yang memutuskan rantai peptide ikatan 8-9.
Sediaan ADH dalam larutan diberikan IV, IM, atau SK dan dalam bentuk bubuk untuk insuflasi nasal atau juga sebagai semprotan. Pada pemberiaan IV efeknya hanya berlangsung sebentar akibat ADH cepat mengalami inaktivasi, kecuali bila sediaan tersebut diberikan sebagai infus.
*   Desmopresin
Dapat bertahan lama dalam sirkulasi setelah diabsorpsi dari mukosa hidung. Sediaan kerja panjang, misalnya vasopressin tanat dalam minyak, yang disuntikkan secara IM efeknya dapat bertahan lebih lama.sekitar 48 sampai 96 jam.
*   Masa Paruh
ADH di dalam sirkulasi hanya 17-35 menit, terutama akibat inaktivasi oleh peptidase di dalam berbagai jaringan. ADH akan cepat menghilang dari sirkulasi setelah mengalami metabolisme di dalam ginjal dan hati, namun pada manusia bersihan melalui urin hanya sedikit.
EFEK  SAMPING
            Suntikan  ADH dosis besar menyebabkan vasokonstriksi, tekanan darah naik dan kulit jadi pucat. Peristalsis usus meningkat, menyebabkan rasa mual dan kolik usus. Pada wanita ADH menyebabkan spasme uterus.
       Pembuluh darah koroner menyempit sehingga pada pasien dengan insufisiensi koroner, ADH dalam dosis kecil,yang dapat mengendalikan diabetes insipidus, ternyata dapat menimbulkan serangan angina. Iskemia miokard akibat ADH dapat berakibat fatal. Hal ini perlu dipertimbangkan pada penggunaan ADH untuk mengontrol perdarahan di saluran cerna. Gejala efek samping di atas hampir-hampir tidak ditemukan dengan desmopresin, kecuali pada dosis besar (40 mg). pada pengunaan sediaan antidiuretik juga ada kemungkinan terjadinya efek samping keracunan air.
SEDIAAN
            ADH tersedia dalam bentuk injeksi dan untuk pemberian intranasal, yaitu vasopressin (pitresin) suntikan 20 U/ml terdapat dalam ampul 0,5 dan 1 ml untuk penggunaan subkutan atau IM. Vasopressin tanat 5 U/ml untuk suntikan IM. Bubuk hipofisis posterior untuk insuflasi hidung.
       Lipresin (Lisine-vasopresin) semprot hidung : 50 Unit/ml dalam botol semprot hidung, setiap semprotan mengandung 2 unit.
       Desmopresin asetat (dDAVP), dalam bentuk larutan bening yang berisi 0,1 mg/ml desmopresin dalam botol yang berisi 2,5 ml untuk penggunaan intranasal. Terdapat juga sediaan larutan untuk suntikan.

2.2.  BENZOTIADIAZID
Klorotiazid dan tiazid yang lain ternyata juga dapat menyebabkan berkurangnya poliuria pada penderita diabetes insipidus, dan sekarang telah mantap digunakan untuk pengobatan diabetes insipidus terutama yang resisten terhadap ADH atau yang disebut sebagai diabetes insipidus nefrogen.
Mekanisme antidiuretik tiazid belum dimengerti secara tuntas. Sebagian besar peneliti sependapat bahwa efek natriuretik tiazid memegang peranan yang sangat penting, dan adanya deplesi natrium merupakan hal yang esensial untuk efek antidiuretik. Dalam keadaan ini akan terjadi reabsorpsi NaCl yang berlebihan di tubuli proksimal, sehingga volume filtrat yang mengalir ke tubuli distal menurun. Sebagai akibatnya yaitu berkurangnya pembentukan air dan keadaan poliuria berkurang

2.3.        PENGHAMBAT  SINTESIS  PROSTAGLANDIN

Indometasin  ternyata juga efektif untuk pengobatan kasus diabetes insipidus nefrogen yang herediter, sedangkan penghambat sintesis Pg yang lain misalnya ibuprofen kurang efektif  dibandingkan indometasin. Cara kerjanya belum jelas, mungkin sekali menyangkut beberapa cara, misalnya adanya penurunan filtrasi glomerulus, peninggian kadar zat terlarut di daerah medulla ginjal, atau adanya peningkatan reabsorpsi cairan di tubuli proksimal.
Bersihan kreatinin sebaiknya diperiksa secara teratur mengingat indometasin dapat menurunkan filtrasi glomerulus. Suatu laporan kasus mengemukakan bahwa indometasin memperbaiki poliuria oleh litium. Hali ini mempunyai arti yang penting, karena dengan demikian indometasin mungkin bermanfaat untuk pengobatan poliuria fase akut yang timbul pada pasien yang sedang diobati dengan litium.